Jika kita mengidolakan leader, biasanya kita akan menonjolkan keberhasilan dan kinerjanya. Leader yang dinilai berhasil adalah mereka yang sukses meningkatkan laba perusahaan serta menciptakan perubahan atau inovasi.
Dibalik prestasi yang terlihat, jarang sekali kita mandalami bagaimana proses tercapainya pemikiran, prestasi, dan kinerja kesuksesan itu. Ada prestasi yang diraih karena kinerja tim yang baik, tetapi tidak jarang kita melihat tidak seimbangnya upaya atasan dan bawahan hanya menjalankan sistem atau perintah, tetapi belum sepenuhnya mencurahkan seluruh pemikiran dan emosinya di dalam pekerjaan.
Dibalik prestasi yang terlihat, jarang sekali kita mandalami bagaimana proses tercapainya pemikiran, prestasi, dan kinerja kesuksesan itu. Ada prestasi yang diraih karena kinerja tim yang baik, tetapi tidak jarang kita melihat tidak seimbangnya upaya atasan dan bawahan hanya menjalankan sistem atau perintah, tetapi belum sepenuhnya mencurahkan seluruh pemikiran dan emosinya di dalam pekerjaan.
Banyak yang mengeluhkan bahwa situasi pendidikan dan pemerintahan membuat kita ‘distupidkan’. Di lingkup hidup dan tanggungjawab kita sendiri, pernahkah kita berpikir apakah sudah memahami cara mencerdaskan orang-orang di sekitar? Apakah kita memahami bagaimana anak buah harus dikembangkan? Tanpa disadari, kita juga sering ikut-ikutan me”robot”-kan manusia. Kita pun tidak jarang melihat manusia sebagai mesin yang produktif dengan lifetime tertentu.
Sebagai seorang leader, belum tentu kita tuntas mempertimbangkan keseimbangan harapan dan tindakan tiap individu. Begitu menghadap resistensi, kemalasan, rendahnya motivasi, kita mengecap kondisi tersebut sebagai sifat umum manusianya.
Kita kerap menggeneralisasikan sulitnya mendekati karyawan atau bawahan secara individual dan mendam. Seberapa sering kita berpikir bahwa mendekati individu secara psikologis akan menciptakan produktivitas, motivasi, bahkan kreativitas? Pernahkah kita memahami diri sendiri dan bertanya apa yang salah dalam sikap dan kepemimpinan kita sehingga bawahan tidak semangat?
Kita kerap menggeneralisasikan sulitnya mendekati karyawan atau bawahan secara individual dan mendam. Seberapa sering kita berpikir bahwa mendekati individu secara psikologis akan menciptakan produktivitas, motivasi, bahkan kreativitas? Pernahkah kita memahami diri sendiri dan bertanya apa yang salah dalam sikap dan kepemimpinan kita sehingga bawahan tidak semangat?
Perubahan yang begitu cepat akibat dari semakin cerdasnya manusia, semakin gilanya teknologi, menyebabkan cepat usangnya keterampilan bekerja. Sales manager yang 10 tahun lalu berprestasi bagus sekarang tampak sudah seperti macan ompong.
Teknik-teknik kesuksesannya sudah tidak bisa dipergunakan lagi. Perusahaan yang sudah mabuk kemenangan dan keuntungan juga bisa kalang kabut menyiapakan kompetensi baru karena keharusan mengantisipasi golden egss baru. Era industrial ketika keterampilan bisa dipakai berulang-ulang sudah lewat. Sekarang, pemimpin perlu menyiapkan pembuat perubahan. “every individual needs to be a change maker”.
Teknik-teknik kesuksesannya sudah tidak bisa dipergunakan lagi. Perusahaan yang sudah mabuk kemenangan dan keuntungan juga bisa kalang kabut menyiapakan kompetensi baru karena keharusan mengantisipasi golden egss baru. Era industrial ketika keterampilan bisa dipakai berulang-ulang sudah lewat. Sekarang, pemimpin perlu menyiapkan pembuat perubahan. “every individual needs to be a change maker”.
Bila seorang individu tidak gemar berubah, ia jelas akan menjadi beban bagi teman-temannya yang ingin berubah. Tim bukan sekedar tim, tetapi perlu bersinergi dengan tim-tim lainnya. Inilah FORMAT ORGANISASI ERA SEKARANG, “change biggest change...and the world we are going to is better”. Dengan kondisi ini, jelas fokus kita harus lebih banyak kepada penekanan bobot manusia, sumber daya yang paling hebat dimuka bumi, dan paling bertahan. Kita mesti angkat topi dengan perusahaan besar yang menomorsatukan karakter dengan keyakinan bahwa keterampilan bisa diajarkan meski sadar bahwa pembentukan karakter akan memakan waktu yang tidak sebentar.
Jika kita dulu sering mengungkapkan dan menyiapkan “the future leader”, kini secara real time kita sudah perlu mendorong anak buah menjadi leader itu sendiri. Dalam kenyataan, pada banyak CEO ditemukan bahwa kunci sukses mereka sangat terletak pada kemampuan mendorong bawahan secara personal dan emosional, kemampuan mengangkat self interest bawahannya. Walaupun penelitian sering membuktikan adanya kekuatan pendekatan manusia ini, sungguh disayangkan betapa masih banyak orang menomorduakan soft skill dan menganggapnya sebagai tambahan keterampilan bisnis lainnya.
Seorang peneliti manajemen Galinsky mengatakan bahwa “As power increases, power holders are more likely to assume that others insight match their own”. Peneliti ini mengungkapkan pula bahwa bila seseorang sudah mulai merasakan power dari hasil kinerjanya, empatinya ke orang lain bisa berkurang. Ia menjadi self centered dan self assured, singkat kata adalah seolah “tidak butuh orang lain”. Penelitian lain menemukan bahwa power bisa menimbulkan sistem cerminan di otak, yaitu penyerapan terhadap pengalaman orang lain tidak terjadi, seolah ada proses shut down secara otomatis.
Sebagai akibatnya, mekanisme empati dari penilik power jadi berkurang drastis. Padahal kemampuan empati, bermain rasa, dan kesadaran diri adalah alat-alat menuju pematangan jiwa. AKIBATNYA kita sering melihat gejala beberapa leader yang memiliki otoritas dan jabatan tinggi di institusi ataupun perusahaan menjadi tidak peka terhadap situasi eksternal, pandangan orang disekitarnya, ataupun masukan-masukan di media massa. Apa yang bisa kita harapkan dari leader dengan gaya kepemimpinan seperti ini? Alih-alih membimbing, membesarkan, dan memberi semangat anggota timnya, kapasitas menjadi model pun sudah tidak ada.
Kita bisa melihat banyak perusahaan mencari salesman dengan ciri-ciri berempati, mempunyai ego drive, dan ego strength yang kuat. Bukankah kualitas-kualitas ini SOFT SKILL? Mau tidak mau leader pun tidak bisa lagi menyepelekan kualitas manusia yang terbukti akan menjadi andalan utama dari kinerja organisasi. Kita tidak semata memanfaatkan tenaga dari anak buah, tetapi yang lebih penting adalah mengolah hati dan kreativitas pemikirannya.
PEMIMPIN MASA SEKARANG justeru sangat jelas untuk mengubah cara dalam berempati. Kita tidak boleh hanya berorientasi internal, sibuk menyusun organisasi, tanpa mempedulikan bagaimana anggota mempergunakan empatinya untuk bekerja. Empati bahkan perlu menjadi way of life kita.
Tentunya sebagai leader kita juga perlu berlatih membuat lab manusia, yang subjeknya adalah pengikut atau bawahan sendiri. Kita perlu mendominasi komunikasi dengan bertanya, mendengar, mendapat berita dari luar, serta berdiskusi dengan prinsip kesejajaran sehingga pada akhirnya kita benar-benar berada di pusat kelompok. Pada saat itulah kita akan menikmati unsur kemanusiaan dan merasakan kemudahan menjadikan setiap anggota tim seorang leader sejati.
Intinya leader yang people expert adalah leader yang memanusiakan manusia bukan pemimpin yang merobotkan manusia yang sukanya menyuruh ini dan itu seenaknya. Leader yang memiliki kemampuan leadership skills seperti inilah yang akan dibutuhkan di masa depan.
0 comments:
Post a Comment